Nenek Pakande

Dikisahkan, ada seorang wanita lanjut usia bernama Nenek Pakande. Berbeda dengan nenek-nenek pada umumnya, Nenek Pakande terkenal karena ilmu gaib yang dimilikinya. Kesaktian ini tidak didapatkan secara cuma-cuma, tetapi melalui sebuah syarat yang harus ia penuhi.

Demi mempertahankan kesaktiannya, dia harus terus-menerus memakan daging anak kecil. Ia pun menjelajahi desa demi desa untuk memangsa anak-anak kecil dengan daging yang segar dan lezat. Hingga suatu malam, perjalanannya membawanya ke Kabupaten Soppeng.

Ia mendengar suara tangisan bayi yang bersahutan dari deretan rumah-rumah panggung tempat penduduk Soppeng bermukim. Tanpa pikir panjang, ia segera mencari tempat bernaung. Akhirnya, ia menemukan sebuah gua untuk bersembunyi sambil menunggu malam berikutnya tiba. Sebenarnya, kabar tentang Nenek Pakande memang sudah sampai ke telinga penduduk Soppeng.

Ketika fajar menyingsing, penduduk Soppeng bergegas memulai aktivitas sehari-hari mereka. Mulai dari bercocok tanam, berdagang, hingga menempa besi. Sejak lama, Kabupaten Soppeng dikenal sebagai desa yang damai, dengan warga yang hidup rukun dan saling bahu-membahu.

Seiring berjalannya hari, senja mulai tiba. Penduduk Soppeng berbondong-bondong pulang ke rumah untuk beristirahat. Namun, ternyata masih ada sepasang kakak adik yang tengah bermain kelereng di pekarangan rumah. Sang ibu yang cemas, berulang kali memanggil mereka untuk segera masuk ke dalam rumah.

Terlalu asyik bermain, mereka tidak menghiraukan panggilan sang ibu. Benar saja, sepasang mata mengintai mereka dari balik pekarangan. Tidak lama kemudian, si nenek pun menerjang dan menyergap mereka, membawa keduanya kabur tanpa diketahui siapa pun.

Saat kembali ke pekarangan, sang ibu terperanjat karena kedua anaknya hilang dari pandangan. Ia pun berteriak histeris untuk meminta pertolongan. Empat orang tetangga bergegas menghampiri sang ibu yang menangis kebingungan. Mereka kemudian menawarkan pertolongan untuk mencari kakak beradik tersebut hingga ke pelosok hutan.

Pencarian dilakukan sepanjang malam, namun kakak beradik tersebut tidak kunjung ditemukan. Putus asa, keempat pemuda itu melaporkan kejadiannya kepada Kepala Desa Kabupaten Soppeng. Ia memerintahkan mereka untuk mengumpulkan penduduk desa lainnya sebelum melanjutkan pencarian di Balai Desa Soppeng.

Keesokan harinya, seluruh pemuda Soppeng berkumpul di balai desa. Saat kepala desa sedang memberikan instruksi pencarian, terdengarlah tangisan seorang perempuan. Ia mendekati kerumunan dan berbicara dengan terisak-isak. Ternyata, bayi perempuannya telah hilang pada malam sebelumnya.

Kebingungan melanda para penduduk dan kepala desa. Tiba-tiba, suara lantang terdengar dari kejauhan. Suara itu berasal dari seorang pemuda bernama La Beddu yang meyakinkan warga, bahwa peristiwa hilangnya anak-anak memang ulah Nenek Pakande. Kepala desa pun bertanya kepada La Beddu tentang langkah yang perlu dilakukan untuk membawa anak-anak yang hilang itu kembali ke orang tua mereka.

La Beddu menjelaskan, bahwa hampir mustahil bagi manusia biasa untuk melawan Nenek Pakande. Sang siluman hanya takut kepada seorang sosok bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Ia adalah raksasa baik hati dengan tubuh yang sangat besar, dan seperti Nenek Pakande dia juga gemar memakan manusia.

Namun, manusia yang dimakan oleh Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale hanyalah mereka yang bengis dan gemar berbuat jahat. Sayangnya, keberadaan raksasa tersebut sudah lama tidak diketahui.

Untungnya, La Beddu adalah pemuda yang cerdik dan pemberani. Ia pun mengusulkan sebuah siasat untuk menjebak Nenek Pakande. Kepada penduduk Soppeng, ia meminta mereka untuk menyiapkan beberapa hal, yaitu kura-kura, belut, salaga atau garpu rumput, kulit rebung kering, satu ember penuh air sabun, dan batu-batu berukuran besar.

Selanjutnya, ia memaparkan strateginya untuk memancing perhatian Nenek Pakande, yaitu dengan menggunakan seorang bayi sebagai umpan. Tentu saja, penduduk Soppeng merasa ragu. Namun, karena tidak memiliki pilihan lain, mereka bersedia mengikuti rencana La Beddu.

Malam pun tiba, dan para pemuda telah berkumpul di rumah La Beddu untuk mengatur jebakan. Seluruh warga mematikan penerangan rumah mereka sesuai instruksi La Beddu. Dalam keadaan gelap gulita di seluruh desa, rumah La Beddu tetap menyala dengan terang benderang.

Nenek Pakande tengah bersiap melakukan aksinya ketika sinar yang terpancar dari sebuah rumah menarik perhatiannya. Awalnya ia ragu untuk mendekat, karena mengira bahwa penghuni desa sedang bepergian. Namun, suara tangisan bayi dari rumah terang itu membuatnya penasaran. Tersenyum bengis, ia pun menghampiri rumah tersebut.

Tanpa curiga, dia melangkah menuju kamar tempat suara itu berasal. Pada saat yang sama, beberapa penduduk desa meletakkan belut-belut di anak tangga pintu masuk rumah dan batu besar di bawahnya. Belum sampai di kamar, Nenek Pakande dikejutkan oleh suara menggelegar.

Suara itu bersabda, memerintahkan Nenek Pakande untuk menjauhi bayi yang berada dalam perlindungannya. Nenek Pakande tidak terima diperlakukan seperti itu dan balik menantang suara tersebut, namun suara itu kembali terdengar dan mengungkapkan identitasnya. Ia adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, sosok yang amat ditakuti Nenek Pakande. Namun, ia tetap tidak memercayai pendengarannya.

Sesaat kemudian, Nenek Pakande melihat bayangan besar menyerupai raksasa di tembok rumah, yang turut disertai gemuruh suara. Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale menghardik Nenek Pakande yang tidak kunjung percaya dan tetap berniat menyantap bayi tersebut. Terlanjur kesal, sang raksasa meludah ke arah Nenek Pakande dan menyuruhnya pergi jauh-jauh.

Sesungguhnya, suara itu berasal dari kulit rebung kering yang digunakan La Beddu sebagai pengeras suara. Ia menyamar menjadi Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Bayangan di tembok rupanya berasal dari kura-kura dan garpu rumput yang dipantulkan ke sumber cahaya. Adapun semburan air liur Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale, sebenarnya adalah tumpahan busa sabun.

Akhirnya, Nenek Pakande mengiyakan suara tersebut dan bersiap untuk melarikan diri. Masih sulit percaya, ia berjalan mundur dan menuruni anak tangga sambil menatap ke arah bayangan besar dan suara tersebut. Tidak lama setelahnya, ia tergelincir oleh belut yang tersebar di tangga dan jatuh menghantam batu besar di bawahnya. Nenek Pakande pun meninggal akibat hantaman yang keras pada kepalanya.

Penduduk yang berbahagia sama sekali tidak menyangka bahwa Nenek Pakande akan terjebak dalam perangkap mereka. Untuk memastikan bahwa sang siluman tidak akan bangun dan kembali menakuti penduduk, mereka memutuskan untuk membakar jasadnya.

Keesokan harinya, jasad Nenek Pakande dibakar dan abunya terbawa angin yang berhembus. Tidak lama kemudian, kakak-adik itu datang bersama bayi yang diculik oleh si nenek. Ternyata, Nenek Pakande tidak langsung memakan mereka saat ditangkap. Dia justru menyajikan makanan yang banyak agar mereka tumbuh besar sehingga lebih enak untuk disantap.

Sebelum peristiwa itu terjadi, untungnya La Beddu dan para penduduk desa telah berhasil menyingkirkan Nenek Pakande. Akhirnya, Kabupaten Soppeng kembali tenang dan penduduknya kembali hidup damai. Sang nenek tidak pernah kembali ke desa tersebut atau desa-desa lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *